Guru dan pegawai negeri sipil lainnya gelisah ketika menjelang pemilihan
presiden beredar kabar ada kandidat yang berencana menghapus kenaikan
pendapatan mereka lewat remunerasi dan gaji ke-13. Tentu saja itu rumor
belaka karena capres yang nekat menghapusnya sama saja bunuh diri.
Namun
agaknya perlu ditanyakan, guru dan pegawai negeri seperti apakah yang
layak menerima remunerasi itu? Bukankah setelah gaji naik,
korupsi—bahkan yang terjadi di sekolah-sekolah—juga tak berhenti?
Jauh
sebelum program peningkatan kesejahteraan itu ada, seorang guru di
Garut, Jawa Barat, Ade Manadin, menunjukkan bukan gaji besar yang
membuat dia menjadi pengajar yang luar biasa. Ketika Indonesia
Corruption Watch mengampanyekan program Transparansi Anggaran Pendapatan
Belanja Sekolah di Garut, ia mengadopsinya buat sekolah masa kecilnya.
Guru
ini menantang risiko kehilangan pekerjaan dengan membongkar kasus
korupsi di sekolah ketika dia sendiri masih belum mengalami enaknya
kenaikan gaji lewat remunerasi.
Berikut ini kisah Ade dalam buku Sekolah Harapan Sekolah Bebas Korupsi:
Selain
punya jeruk, dodol, dan kisah nikah kilat bupatinya, Garut juga punya
Ade Manadin. Lulusan Sekolah Guru Olah Raga ini sehari-harinya tak
mengajar, tapi berdagang keliling menjajakan alat keperluan pendidikan
dari sekolah ke sekolah.
Bukan karena dia tak cakap jadi guru,
tapi dia yang berstatus guru bantu nekat membongkar korupsi dana
operasional di sekolah tempatnya bekerja. Akibatnya, sepuluh tahun jadi
sukarelawan di sekolah itu, bukannya diangkat jadi guru tetap, Ade malah
dipecat.
Uang hasil jualan itu ditabung buat meneruskan sekolah
ke IKIP Bandung. Lulus dari sana, ia pulang ke Garut, kembali jadi guru
sukarelawan.
Kali ini pun dia dicap pemberontak. Pasalnya dia kerap memimpin unjuk rasa memperjuangkan hak-hak guru sukarelawan.
Ade
lalu ikut seleksi jadi guru pegawai negeri sipil. Seorang pejabat dinas
pendidikan Kecamatan Pakenjeng, Garut, menyumpahi guru pemberontak ini
tidak lulus. Ade mendatanginya sekadar menyampaikan kabar bahwa ia lolos
seleksi.
Ade tak berhenti menyuarakan protes terhadap korupsi.
Saat mendapati penyimpangan dana hibah pembangunan sekolah dari Bank
Dunia, Ade membawa temuannya ke media.
“Mengapa saya harus takut bila benar?” kata Ade. “Saya tetap bisa cari makan sekalipun dipecat dari pegawai negeri.”
Hidup
membawanya mengajar ke sekolah masa kecilnya, SD Tegal Gede 2. Dulu
sekolah itu cuma berdinding bambu dan lantainya tanah.
Di
sekolah itu dulu Ade memupuk impiannya menjadi guru. Anak petani di
Kabupaten Garut ini dilarang melanjutkan sekolah selepas SD karena
orangtuanya mau dia langsung bekerja.
Tapi dia diam-diam
mendaftar ke SMP di Pakenjeng. Dua jam lamanya dia berjalan kaki ke
sekolah itu. Agar seragam dan sepatunya tak hancur dimakan perjalanan di
medan berat itu, Ade menitipkannya di sekolah. Usai sekolah ia mencari
uang buat bayaran sekolah dengan membantu pedagang di pasar.
Lulus
SMP, Ade mendaftar ke Sekolah Guru Olah Raga. Karena sekolah itu ada di
Kabupaten Tasikmalaya, ia butuh uang lebih banyak yang dicarinya dengan
jadi kuli angkut di pasar.
Ketika kembali ke SD Tegal Gede 2,
kondisinya tak lebih baik dari sewaktu ia bersekolah di sana. Saking
parahnya, orang tua kompleks di sekitar sekolah tak mau mendaftarkan
anaknya ke sana.
Ade mengusulkan kepada Kepala Sekolah SD Tegal
Gede 2, Kaspi, agar membuat program transparansi anggaran sehingga
masyarakat mau berpartisipasi membantu pembangunan sekolah. Kaspi
mendukung ide itu dan masyarakat mau membantu karena penggunaan dananya
jelas sehingga perlahan fasilitas sekolah itu membaik.
Kekurangan fasilitas sekolah pun dibantu oleh Ade. Murid-murid bebas meminjam dua unit komputer di rumahnya.
Agar
lulusan SD itu tak perlu bersekolah ke SMP yang jauh seperti dia dulu,
Ade membuat SMP Terbuka pada 2000. Ade sengaja tak memberitahu ke
muridnya bahwa itu SMP Terbuka agar setidaknya anak-anak tak ragu
melanjutkan sekolah.
Ketika SMP Terbuka itu dibuat jadi SMP
Negeri, Ade memilih bertahan di SD. Padahal dia berpeluang besar buat
jadi kepala sekolah. “Saya tidak mengejar jabatan,” ujarnya.
Agar
tak menggantungkan hidup dari gaji guru yang dulu tak seberapa, Ade
menambah pendapatan dari berdagang hasil kebun, konveksi, dan masih
meneruskan berjualan alat-alat pendidikan. “Saya percaya guru pegawai
negeri yang mendapat tunjangan profesi dan tinggal di desa dapat hidup
layak tanpa perlu korupsi,” kata Ade.
0 komentar:
Posting Komentar